Dibalik Kekerasan, ada sebuah Anugrah

Sebut aku dengan nama apa saja, karena aku tak tahu siapa namaku. Aku ditelantarkan orang tuaku sejak aku berumur 4 tahun, dan sesuatu yang aku ingat dari pengalaman itu adalah aku sempat hidup bahagia. Aku ditinggal di sebuah taman di kota yang baru saja aku injak. Aku tak kenal siapapun, bahkan angin pun terasa asing dan mengganggu. Tak lama datanglah sepasang suami - istri yang mendatangiku. Aku dipungut mereka, dan aku pun diasuh mereka, dalam kekerasan setiap harinya. Aku diajari untuk mengemis dan mencuri setiap saat perutku meminta diisi makanan, di usia muda aku sudah berkenalan dengan apa yang disebut dengan sex bebas, dan pengelaman penjara pertamaku adalah saat aku berusia 15 tahun. Saat akku dipenjara, aku melihat ada sebuah ajaran Agama dimana mereka yang berhasil terlihat munafik di penjara akan dibebaskan lebih cepat, maka tanpa pikir panjang, aku mengikuti ajaran itu. Tiba saatnya dimana aku dibebaskan dari penjara, namun satu hal yang selalu aku ingat selama aku dipenjara bahwa selama aku mengikuti ajaran Agama, aku diajarkan untu hidup menjadi orang yang jujur dan baik, dan aku bertekad akan hidup dengan jujur kali ini. Aku mencoba mencari pekerjaan di kota. Saat aku ditanyai siapa diriku, aku jawab seadanya saja, aku jawab siapa akus sebenarnya, dan tidak ada orang yang mau mempekerjakanku. Terpaksa aku kembali ke kebiasaan lamaku, ya, mencuri demi kenyamanan perut. Namun sial, saat aku sedang beraksi, ada seorang polisi yang mencurigaiku dan segera membuntutiku. Aku melihat sebuah gerobak makanan dan ada orang disana. Aku memohon kepada sang pemilik gerobak untuk menyembunyikan aku, dan alangkah senangnya mendengar beliau mau membantuku. Bapak ini lalu menyuruhku untuk mencuci mangkuk dan gelas kotor di belakang gerobaknya. Dari sisa makanan yang ada di mangkuk, aku tahu bahwa bapak ini penjual bubur, hebat sekali seorang penjual bubur berani menyembunyikan seorang kriminal seperti aku ini. Segera setelah polisi itu pergi, aku berterima kasih kepada bapak yang sudah membantuku tadi. Bapak ini penasaran kenapa sampai aku dibuntuti oleh polisi tadi, maka aku ceritakan siapa sebenarnya aku ini. Saat aku sedang menjelaskan latar belakangku, bapak ini memotong, dan aku diajak ke rumahnya karena dagangannya sudah selesai dan beliau tahu bahwa aku tak memiliki rumah. Sesampainya di rumah, sang istri menyambut dengan hangat, kemudian melihatku dengan pandangan yang penuh kecurigaan. Bapak membisikkan sesuatu ke istrinya, dan istrinya pun jatuh pingsan, bapak pun hanya tersenyum kepadaku dan membiarkanku tertawa kecil mengetahui apa yang sebenarnya bapak ini katakan sehingga istrinya pingsan. Aku tinggal bersama keluarga ini. Minggu pertama, mereka masih enggan berbicara denganku, setelah seorang anak perempuan yang masih lugu mulai dekat denganku, semuanya berubah, keluarga ini pun mulai menghangat kepadaku. Aku sering membantu bapak ini menjual buburnya. Aku mempelajari perilaku setiap orang yang membeli bubur bapak. Ada yang akrab, ada yang ramah, ada juga yang kurang sopan, namun bapak ini terus saja melayani mereka dengan senyum. Saat tiba makan malam, aku melihat keluarga ini berdoa sebelum makan, mengingatkanku kepada kemunafikan yang ada di penjara yang aku alami, namun setelah apa yang aku lihat selama ini, keluarga ini tidak seperti mereka yang di penjara. Mereka tulus berdoa dengan sungguh - sungguh memanjatkan rasa syukur mereka. Aku pun tergerak untuk mempelajari Agama yang kemudian aku ketahui Kristen ini. Aku mempelajari Agama ini dengan belajar membaca alkitab, yang diajarkan anak mereka kepadaku. Tanpa harus malu kukatakan bahwa aku buta huruf sampai saat dimana aku mulai belajar membaca alkitab ini. Sesaat kupikir pergumulanku sudah selesai, aku berencana membeli gerobak baru untuk membantu bapak menjual bubur, dan bapak pun ternyata berhutang kepada seseorang untuk memberikan sebuah gerobak bubur untuk ku. Sungguh tak terbayang seberapa besar rasa bahagia yang aku rasakan, hingga air mata pun menetes dari mataku, setelah sekian lama, akhirnya aku merasakan perasaan hangat yang tak terbayarkan ini lagi. Mulailah aku menjual bubur dengan gerobakku ini. Namun, sepertinya Tuhan mencobaiku lagi, orang tua angkatku yang dulu mengajarkan hal - hal buruk kepadaku datang bersama anak - anak pungut mereka. Mereka makan buburku tanpa ada sepeser pun bayaran. Kejadian ini pun membuatku sakit hati, karena secara tidak langsung aku merugikan bapak. Tetapi bapak tidak geram, bapak hanya senyum dan berkata "Teruskan saja, jangan menyerah dulu" dengan lembutnya, seolah - olah uang bukan jadi masalah baginya. Aku menuruti apa kata bapak, aku meneruskan menjual bubur meskipun setiap hari aku tidak menghasilkan uang, namun tidak sepenuhnya aku tidak menghasilkan apa - apa, anak - anak yang diajak orang tua angkatku mulai dekat denganku, dan aku pun mulai mengajari mereka hal - hal baik, dan tak lama setelah itu, mereka pun membantuku berjualan bubur dan melayani pelanggan. Tabunganku sudah banyak, aku pun berniat membeli gerobak lagi, dan melunasi semua hutang bapak. Kini kami memiliki 3 gerobak bubur, satu milik bapak, satu milikku, dan satu lagi milik anak - anak dimana mereka bisa mendapatkan bubur dengan gratis. Semua ini berlanjut sampai aku mendirikan banyak lapak di mall - mall besar yang berdiri, dan semua ini terjadi tidak hanya melalui kebahagiaan saja, namun juga melalui derai air mata yang mengucur karena sakit yang kurasa sangat luar biasa. Inilah kehidupanku, walaupun pertamanya berat, namun aku tahu, dibalik semua air mataku, terdapat sebuah masa depan yang indah. Apabila Tuhan berbuat sedemikian rupa padaku, lalu mengapa kau harus ragu bahwa Tuhan akan berbuat yang sama dalam kehidupanmu?

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Pernah Menyerah!

Indonesia Kreatif? Sayang Orang Tua? Pikir Lagi!

Hanya Sebagai Simbol, Bukan Penentu Kualitas