Satu Bunga dalam Kuburan

Panggil saja aku si bodoh, karena aku mau saja menerima makian dan kemarahan saudaraku, karena aku berusaha menyelamatkan nyawa salah satu anggota keluarga yang aku sayang, dan bahkan mereka pun sayang. Tidak ada yang pernah mau mendengarkan aku ketika aku berbicara, mengutarakan sebuah fakta yang selalu aku tujukan untuk membantu, tapi sayangnya, itu hanya dianggap sebagai alasan dan kemalasan belaka.


Keluargaku bagaikan padang pasir yang selalu ada panas dan debunya. Kaktus berduri yang sangat mengganggu pun banyak tumbuh di keluargaku, ditambah lagi kalajengking berbisa yang senantiasa setiap harinya menyengatku dengan racunnya pun lebih melengkapi keluargaku ini. Namun entah kenapa, aku masih saja hidup dalam keluarga ini.


Lucu sekali ketika mengetahui bahwa keluarga ini diakui sebuah jemaat setia dalam sebuah Gereja. Aku pribadi, tidak bisa melihat mana sih sisi “Gerejawi” mereka yang dikagumi banyak orang itu? Adakah Gereja yang mengajarkan cara memaki saudaranya? Adakah Gereja yang mengajarkan cara menghina harga diri seseorang? Atau mungkin adakah Gereja yang mengajarkan untuk memanggil seseorang dengan nama binatang yang biasa kita temui tiap harinya? Apa itu gambaran jemaat Gereja yang bisa dibilang “Setia”? Kalau saja Gereja ada seksi absensi perorangan, mungkin benar mereka bisa dibilang setia ya. Tapi, soal ketaatan dan pengutusan? Apa mereka lulus ujian? Apa kesetiaan absensi ke Gereja saja bisa dipakai sebagai tolok ukur kerohanian seseorang?


Lama kelamaan aku mulai berfikir, apakah semua orang yang datang ke rumah ibadah seperti ini? Hanya menjalankan perintah Agama, yang mereka canangkan sebagai “Jalan Kehidupan” itu, namun ya hanya sekedar tampil bersih dan anggun saja dalam rumah ibadah itu? Lalu bagaimana dengan kehidupan mereka? Bagaimana dengan keseharian mereka? Apa cukup hanya datang ke rumah ibadah sesuai rutinitas saja cukup menggambarkan kealiman seseorang? Apakah itu yang diajarkan di rumah rumah ibadah zaman sekarang? Seolah olah mereka para pemuka Agama berkata “Ngapain sih taat banged? Udaaahhh datang aja ke rumah ibadah sesuai aturan, nanti kan ya sudah terlihat Agamis!”.


Tidak, aku tidak percaya akan hal yang aku fikirkan itu. Pasti masih ada orang yang lebih pintar daripada mereka pada pemuka sesat yang kerap menghitamkan lembu lembu putih yang jinak. Aku percaya, pasti masih ada banyak mereka yang lebih beruntung daripada aku, yang hidup dalam keluarga yang “Bahagia” seperti ini. Selamat ya, kalian telah hidup dalam keluarga yang lebih enak daripada keluarga saya. Semoga kebahagiaan dan keharmonisan kalian itu, kalian bawakan sampai nanti ke generasi penerus kalian. Jangan sampai sekalipun keluarga kalian menjadi seperti keluargaku ini. Jadikanlah keluarga sebagai naungan dan rumah yang asik untuk orang orang tersayang kalian. Dan berjanjilah padaku, kalian akan terus menyimpan canda tawa, dan senyuman bahagia, dalam semua anggota keluarga kalian.


Salam: Saya yang Bahagia

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Pernah Menyerah!

Indonesia Kreatif? Sayang Orang Tua? Pikir Lagi!

Hanya Sebagai Simbol, Bukan Penentu Kualitas